Akan menjadi suatu kecerobohan bagi cara sunah Allah s.w.t. bekerja jika kita mempertanyakan mengapa Tuhan menciptakan perbedaan kemampuan di antara makhluk dan mengapa setiap orang tidak diberikan saja kemampuan yang memungkinkan baginya mencapai tingkat pemahaman dan kecintaan Tuhan yang sempurna. Setiap orang yang berpikir tentunya mampu memahami bahwa tidak ada seorang pun yang berhak menggugat Tuhan agar memberikan derajat yang sama dan sifat-sifat yang sempurna kepada setiap orang.
Adalah menjadi bagian dari berkat-Nya untuk mengkaruniakan apa pun yang diinginkan-Nya.
Sebagai contoh, Tuhan telah menjadikan kalian sebagai manusia dan bukan sebagai keledai. Kalian diberikan kemampuan berpikir dan keledai tidak demikian. Kalian bisa memperoleh pengetahuan dan keledai tidak. Hal ini adalah karena keinginan dari yang Maha Kuasa dan tidak ada kaitannya dengan hak kalian atau pun hak keledai tersebut. Di antara makhluk ciptaan Tuhan terdapat pembedaan derajat yang tidak bisa dibantah oleh seorang yang waras. Lalu bisakah makhluk yang sebenarnya tidak mempunyai hak untuk eksis, apalagi hak untuk menuntut derajat yang lebih tinggi, lalu mengajukan gugatan keberatan terhadap yang Maha Berkuasa? Adalah berkat sifat rahmat dan rahim-Nya itulah maka Allah yang Maha Kuasa mengarunia¬kan kewujudan atas segala makhluk-Nya dimana sebagai sang Dermawan tentunya memiliki kewenangan untuk mengatur karunia dan rahmat-Nya. Kalau Dia tidak mempunyai kewenangan untuk mengaruniakan dalam volume yang lebih sedikit, dengan sendirinya juga Dia tidak mempunyai kewenangan memberi¬kan lebih dan hal seperti itu akan menjadikan pelaksanaan sifat ke-Tuhan-Nya itu menjadi terkendala. Jika yang namanya makhluk mempunyai hak yang bisa digugatkan kepada Pencipta-Nya maka hal itu akan menimbulkan rangkaian tuntutan yang tidak ada habisnya karena apa pun derajat yang diberikan, sang Pencipta tetap saja akan digugat oleh makhluk ciptaan tersebut yang merasa bahwa dia patut memperoleh lebih. Bila diyakini bahwa Allah yang Maha Kuasa bisa menciptakan tingkatan derajat yang tidak ada batasnya, sedangkan kesempurnaan ciptaan tidak berhenti hanya pada wujud manusia, maka rangkaian tuntutan hak demikian itu akan menjadi tidak ada akhirnya. Kalau ada yang ingin mendalami apa yang menjadi dasar kebijakan dari pembedaan derajat tersebut, kiranya patut dipahami bahwa Kitab Suci Al-Qur’an telah mengemukakan tiga bentuk kebijaksanaan dalam konteks tersebut secara jelas dan tidak bisa dibantah oleh orang yang waras. Yang pertama adalah agar permasalahan di dunia ini bisa diatur sebaik mungkin sebagaimana dinyatakan dalam ayat:
“Mereka berkata: “Mengapakah Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang orang besar dari kedua kota itu?” Adakah mereka waktu itu yang membagi-bagikan rahmat Tuhan-mu? Kami-lah yang membagi-bagikan di antara mereka bekal hidup mereka dalam kehidupan duniawi ini dan Kami mengangkat sebagian mereka di atas sebagian yang lain dalam derajat, supaya sebagian dari mereka membuat yang lainnya tunduk patuh kepada mereka sendiri. Dan rahmat Tuhan engkau adalah lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan”. (S.43 Az-Zukhruf:32-33).
Para orang kafir mempertanyakan mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada beberapa kepala suku atau orang-orang kaya di Mekah atau Taif sehingga akan menjadi sepadan dengan ketinggian derajat mereka dimana melalui nama besar, kekayaan serta kepemimpinan mereka maka agama ini akan bisa berkembang lebih cepat. Mengapa yang dipilih untuk tugas seperti itu justru adalah seorang yang miskin yang tidak mempunyai kekayaan? Kepada mereka itulah diarahkan sergahan Tuhan yaitu apakah memang menjadi tugas mereka untuk mengarahkan pembagian rahmat dari Allah yang Maha Kekal. Adalah menjadi kebijaksanaan-Nya untuk membatasi kemampuan dan sifat-sifat dari mereka yang hanya tertarik kepada hal-hal yang bersifat duniawi dan membanggakan dirinya sebagai kepala suku atau orang kaya sehingga melupakan tujuan utama daripada eksistensi mereka. Adapun kepada yang lainnya Dia mengkaruniakan rahmat dan kesucian keruhanian dimana mereka lalu menjadi kekasih Allah yang Maha Pengasih karena pengabdian mereka kepada-Nya.
Berikutnya dijelaskan bagaimana Tuhan menjadikan sebagian dari manusia menjadi kaya raya dan yang lainnya miskin, ada yang diberkati dengan sifat-sifat yang baik dan yang lainnya dengan sifat yang tumpul, ada yang cenderung kepada suatu jenis kegiatan mencari nafkah dan yang lainnya pada kegiatan yang lain sehingga yang satu akan melayani yang lainnya atau membagi kerja sama dalam liku-liku kehidupan manusia agar urusan-urusan dapat dilaksana¬kan dengan mudah. Ayat di atas diakhiri dengan ungkapan bahwa Kitab Ilahi ini jauh lebih bermanfaat daripada kekayaan dan harta benda duniawi. Manusia adalah makhluk sosial dan tidak ada urusannya yang bisa diselesaikan dengan baik tanpa kerja sama di antara mereka. Sebagai contoh adalah roti yang menjadi bahan pokok kehidupan manusia. Betapa banyak kerja sama sosial yang diperlukan untuk menghasilkannya. Dari sejak tahapan kultivasi tanah ladang untuk menanam gandum sampai kepada tingkatan sebongkah roti siap untuk dihidangkan sebagai pangan, ratusan pekerja yang harus bekerja sama satu dengan yang lainnya guna memproduksinya.
Semua itu menunjukkan bahwa selalu dibutuhkan kerja sama dan saling tolong menolong pada berbagai sektor dari kehidupan sosial. Guna memenuhi kebutuhan itu maka yang Maha Bijaksana telah menciptakan manusia yang dilengkapi dengan berbagai sifat dan kemampuan yang berbeda agar masing-masing dari mereka dapat memberikan kinerjanya secara sukarela sejalan dengan kemampuan dan kecenderungannya. Sebagian ada yang berkiprah di bidang pertanian, sebagian lagi memproduksi sarana pertanian, ada yang kebagian kerja menggiling biji gandum, yang lainnya memikul air, ada pula yang membakar roti, yang lainnya menganyam bahan pakaian, ada juga yang berusaha di bidang perdagangan, ada pula yang menjadi pelayan, semuanya itu merupakan kerja sama dan tolong menolong antara satu dengan yang lainnya.
Kerja sama menyangkut penanganan manusia yang satu dengan yang lain dan penanganan ini menimbulkan permasalahan perlakuan yang menyangkut kompensasi (imbal balik) dan mereka yang melalaikan tugasnya dimana hal itu akan menimbulkan kebutuhan adanya sistem hukum guna menegah mereka dari melakukan kesalahan dan pelanggaran serta pengabaian Tuhan, sedemikian rupa sehingga tatanan alam ini tidak terganggu. Cara manusia mencari hidup dan bagaimana melaksanakan tugas-tugas sosial tergantung kepada keadilan dan pengakuan adanya Tuhan, dimana semua itu menuntut adanya suatu sistem hukum yang mengatur penataan pelaksanaan keadilan dan pemahaman yang sempurna atas Tuhan yang bersih dari segala kesalahan dan kekeliruan. Sistem hukum seperti itu hanya bisa dirumuskan oleh Wujud yang bersih dari segala kekhilafan, kesalahan, pelanggaran dan yang patut menjadi obyek sembahan dan kepatuhan. Suatu hukum bisa saja dikatakan baik, tetapi jika perumus hukum tersebut tidak memiliki derajat kelebihan serta mempunyai hak mengatur di atas semuanya atau perumus itu di mata manusia tidak kalis dari kemurkaan, kejahatan, kesalahan dan kekeliruan, maka hukum yang dihasilkannya tidak akan bisa berfungsi atau kalau pun bekerja maka hanya akan menghasilkan segala bentuk kekacauan.
Alih-alih memberikan kemaslahatan, hukum demikian hanya akan menghasilkan bencana. Semua hal ini mengharuskan adanya sebuah Kitab Ilahi karena semua sifat-sifat yang baik dan keluhuran hanya ada dalam Kitab tersebut.
Kedua, kebijakan yang mendasari perbedaan derajat adalah agar keluhuran dari orang-orang yang saleh akan menjadi nyata karena sifat-sifat baik demikian hanya bisa dilihat dalam suatu perbandingan baik dan buruk. Sebagaimana dinyatakan:
“Sesungguhnya telah Kami jadikan yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, supaya Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik dalam amal perbuatannya”. (S.18 Al-Kahf:8).
Dengan kata lain, Allah s.w.t. menciptakan segala sesuatu di bumi ini sebagai perhiasan agar kesalehan mereka yang muttaqi bisa dibandingkan dengan mereka yang keji, dengan demikian mereka yang bodoh bisa mengamati apa yang baik secara jelas. Bentuk-bentuk yang berbeda dapat dikenal jika dibandingkan dengan bentuk lainnya, sebagaimana kita menyadari sesuatu sebagai suatu hal yang baik jika dibandingkan dengan sesuatu yang buruk.
Ketiga, pembedaan derajat tersebut diperlukan untuk mempertunjukkan berbagai bentuk kekuasaan dan menarik minat manusia kepada Kebesaran Allah s.w.t. sebagaimana dinyatakan:
“Apakah yang terjadi pada dirimu, bahwa kamu tidak mengharapkan kebesaran dan hikmah dari Allah? Dan sesungguhnya Dia telah menciptakan kamu dengan pelbagai bentuk dan keadaan berbeda-beda”. (S.71 Nuh:14-15).
Berarti pembedaan kapasitas dan temperamen diciptakan oleh yang Maha Bijaksana agar Keagungan dan Kekuasaan-Nya bisa dikenali sebagaimana juga dinyatakan di tempat lain:
“Allah telah menciptakan segala hewan dari air13. Maka dari antaranya sebagian yang merayap pada perutnya dan sebagian lagi dari antaranya ada yang berjalan pada dua kaki dan dari antaranya ada sebagian lagi yang berjalan pada empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya”. (S.24 An-Nur:46).
Hal ini menjadi indikasi bahwa berbagai bentuk spesi yang ada di bumi ini diciptakan agar berbagai kekuasaan Ilahi bisa dipertunjukkan. Karena itulah ada pembedaan dalam temperamen dan sifat dari makhluk ciptaan yang didasarkan pada pertimbangan sebagaimana yang dikemukakan Allah s.w.t. dalam ayat di atas.
oleh Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jemaat Ahmadiyah
(Barahin Ahmadiyah, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 1, hal. 203-207, London, 1984).